Kamis, 22 Mei 2014

KELUARGA WARSITO




Namaku Rani, sulung dari dua bersaudara, ibuku seorang TKI di negeri sebrang, ayahku seorang buruh serabutan. Bisa ditebak darimana kasta kami berasal, Sakinah ibuku sedang mengadu nasib di negeri tetangga, lima tahun kami tidak berjumpa, berkumpul atau sekedar bercengkrama.
Warsito ayahku sudah usia senja, rambutnyapun kini mulai berubah warna. Terlihat keriput-keriputan di wajahnya, tapi ayahku tak kenal lelah membanting tulang untuk mencari nafkah, menghidupi aku, Siti dan Nur.

...................(diteras rumah senja hari dengan sepoi angin sore)
Dari bilik pagar rumahku yang reyot dan tua ini aku menyaksikan cinta yang tulus dari seorang ayah,
air mata hampir saja pecah ketika aku harus menyaksikan pemandangan seperti itu.
Ayahku orang yang telaten dan sabar, bagaimana tidak, dia tetap sabar untuk tetap memberikan kasih sayang kepada Siti adiku yang memiliki keterbelakangan mental. Aku bangga pada beliau, ayahku Warsito tidak merasa canggung dan malu terhadap kondisi kami yang serba memiliki kekurangan.

Andai saja kakiku mampu untuk berjalan, pastilah tidak akan kubiarkan pria paruh baya dengan tubuh setengan bungkuk itu memikul beban yang teramat. Kelumpuhan pada kakiku membuat aktifitasku terbatas. Adikku Nur pun tidak jauh beda dengan aku dan Siti, dia seorang bocah kecil yang tuna rungu. Kami bertiga sejak lahir memang telah seperti ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar